Sejarah Singapura memang lekat dengan Inggris. Tokoh dari Inggris yang
disebut-sebut sebagai penggagas berdirinya kota pelabuhan Singapura
adalah Thomas Stamford Raffles. Dia berkunjung ke Singapura pada 1819,
lalu menjadikan kota itu sebagai wilayah koloni kerajaan Inggris di
Asia.
Sebelum dikontrol oleh Inggris, Singapura ini didiami oleh para nelayan
setempat, para bajak laut, dan kemudian menjadi bagian dari kekaisaran
kerajaan Sriwijaya, Sumatera. Singapura merupakan wilayah kota
perdagangan tersibuk ketika itu.
Tan Malaka dalam buku berjudul "Dari Penjara ke Penjara", mengatakan
pada masa Rafles bahkan penduduk Singapura ketika itu sebanyak 6 ribu
orang, dan dikuasai orang-orang Indonesia.
“Menurut satu statistik yang saya baca dalam ‘Straits limes’ penduduk
Singapura baru 6 ribu orang, memang sudah ada orang Tionghoa di masa
itu, tapi bangsa Indonesia jauh lebih banyak. Kalau saya masih ingat
adalah lebih kurang 90 persen dari semua penduduk,” kata Tan dalam buku
itu.
Bukan hanya soal jumlah penduduk, tetapi hampir seluruh mata pencaharian
penduduk di sana masih di tangan orang Indonesia (Melayu, Minangkabau,
Jawa, Bugis, Palembang, dan lain-lain). Perusahaan, pelayaran,
perikanan, perdagangan, dan lainnya, sebagian besar masih di tangan
bangsa
Indonesia.
Apalagi di pedalaman, kata Tan. Semua mata pekerjaan masih di tangan
pribumi (Indonesia). Misalnya pertambangan timah yang terkenal ketika
itu, semuanya dikuasai oleh orang-orang Indonesia.
“Disebutkan dalam satu tulisan bahwa menjelang penghabisan abad yang
lalu, perusahaan timah terbesar ialah dimiliki dan diusahakan oleh
seorang majikan bernama Raja Mandailing,” tutur Tan.
Namun ketika Singapura dikuasai Inggris, banyak imigran-imigran asing
datang ke sana, di antaranya bangsa Tionghoa dan Hindustan. Awalnya
mereka juga ada yang bekerja menjadi kuli bersama penduduk pribumi.
Tetapi perlahan-lahan, imigran-imigran itu menetap dan jumlahnya kian
banyak.
Kondisi ekonomi mereka juga terangkat, hingga akhirnya banyak
orang-orang bangsa Tionghoa dan Inggris justru menguasai
perkebunan-perkebunan. Cuma ladang getah ‘setelapak tangan’ luasnya yang
dimiliki penduduk asli. Ironisnya, hasil getah setelapak tangan itu pun
jatuh ke bawah peraturan “restriction” (pembatasan).
Pada 1937, kata Tan Malaka, jumlah penduduk Singapura ditaksir mencapai
700 ribu orang. Di antaranya ditaksir 600 ribu orang Tionghoa atau
sekitar 85 persen, orang Keling-Hindu sebanyak 70 ribu orang atau 10
persen, sedangkan orang Melayu sebanyak 30 ribu orang atau hanya sekitar
5 persen saja.
“Demikianlah jatuh perbandingan banyak bangsa Melayu yang semula 90
persen, tapi ketika Inggris masuk, menyusut sampai tinggal 5 persen,
atau 1 persen, dari jumlah penduduk dalam waktu satu abad di kemudian
hari.”
Akankah Negara Kesatuan Republik Indonesia belajar dari negara Singapura
yang gagal mempertahankan etnis asli bangsa? Atau justru Indonesia akan
menyusul negara Singapura dan membiarkan etnis asli Inonesia tergeser
dengan etnis pendatang?