Aksi 212 dan Reaktualisasi Nasionalisme
Laju sejarah selalu tak bisa dibendung. Karena sejarah memiliki nyawa, memiliki daya hidup. Seperti arus laut yang mengikuti suhu air, seperti angin yang mengikuti kerapatan udara dan seperti air yang mengikuti kemiringan tanah. Aksi 212 tak tertahankan.
Upaya membendung dan membelokkan arus sejarah bukan tidak dilakukan, bahkan bertubi-tubi. Para pimpinan ormas dan pimpinan partai didatangi dan dipanggil. Fatwa bid'ah shalat di jalan dikeluarkan.
Degradasi narasi aksi 212 disebar lewat media konvensional maupun media sosial. Intimidasi dilakukan dengan diksi makar, dibayar, dan ditunggangi aktor politik. Perusahaan bus dilarang mengangkut rombongan yang hendak ke Jakarta.
Jalan-jalan dijaga banyak aparat. Kendaraan yang melaju dihentikan untuk didata. Jembatan tiba-tiba ditutup. Jalan tol tiba-tiba diaspal. Polisi akan membubarkan secara paksa jika tetap shalat di Jalan Thamrin dan Jalan Sudirman sehingga aksi 212 harus pindah ke Monas.
Aksi tandingan dilakukan berkali-kali. Konsolidasi ke alat-alat negara digeber. Secara atraktif polisi juga menyebar selebaran dari helikopter di langit Jakarta. Seolah akan ada perang. Namun, inilah puncak pembalikannya: santri Ciamis memilih berjalan kaki menuju Jakarta.
Suara dari Ciamis ini justru merupakan tindakan efektif yang menggetarkan dan menggentarkan. Mereka mengenakan caping merah-putih. Di ruas-ruas jalan yang dilalui, masyarakat menggelar makanan dan penyambutan luar biasa.
Pelajar berjajar di pinggir jalan mengenakan kacu merah-putih. Di panggung utama di Monas pun tergelar backdrop besar: Persatuan dan Doa untuk NKRI Tercinta. Pin merah-putih menghiasi kopiah panitia.
Dengan segala pembendungan itu, aksi 212 justru jauh lebih besar daripada aksi 411. Aksi 212 benar-benar superdamai. Aksi 212 lebih disiplin, lebih rapi, dan lebih berjiwa daripada aksi 411. Presiden Jokowi akhirnya ikut shalat Jumat di Monas.
Peserta aksi 212 jauh di atas perkiraan aparat keamanan yang menaksir cuma akan diikuti 200 ribu orang. Karena itu, Jl Thamrin tetap digunakan untuk area shalat Jumat. Peserta aksi juga memadati hingga ke Tugu Tani, kawasan Kwitang, kawasan Senen, maupun Lapangan Banteng.
Upaya pengerdilan tak berhenti. Narasi menuntut keadilan dituduh sebagai anti-Indonesia. Mereka menyerbu lewat media konvensional dan media sosial. Mereka juga membuat aksi-aksi tandingan. Ada Parade Bhinneka Tunggal Ika, ada Kita Indonesia.
Benar-benar dihadap-hadapkan. Bahkan yang terakhir lengkap dengan beredarnya surat-surat dari kementerian, sebagian partai pendukung, dan perusahaan-perusahaan konglomerat. Aksi tandingan ini benar-benar bukti ketidakmatangan bernegara.
Suka atau tidak suka, diakui atau tidak diakui, semua aksi tandingan itu butuh restu orang-orang berkuasa. Padahal tugas negara adalah menyerap aspirasi. Tugas negara adalah membuat kebijakan.
Tugas negara bukan menandingi aspirasi warganya yang menuntut keadilan-sahabat saya mempunyai istilah yang tepat untuk aksi tandingan ini: demo pelat merah. Tugas penguasa adalah mengekstrak detak rakyatnya, bukan membuat aksi pelat merah. Bukan membuat “kita” dan “kalian”.
Masuklah pada kedalaman yang bersemayam di hati rakyat. Apa yang terjadi saat ini bukan sekadar al-Maidah: 51. Namun, ada masalah sosial-ekonomi yang diam-diam menjadi jurang yang dalam dan menuju tanpa dasar.
Pilkada adalah pemantik. Namun, yang dilakukan penguasa adalah membangun dikotomi penguasa melawan rakyat, si miskin melawan si kaya, jelata melawan elite. Sikap defensif orang-orang berkuasa justru makin menyadarkan bahwa ini bukan soal Ahok semata.
Ada kekuatan yang sangat besar yang membuat mereka mati-matian membendung arus sejarah ini. Ada kesadaran bahwa kekuatan perubahan ini bisa mengubah tatanan yang sudah mulai lapuk ini.
Kaum oligarkis dan plutokratis melihat titik cahaya yang mengancam eksistensi mereka. Negeri ini tak kunjung maju karena hanya mengabdi kepentingan segelintir elite dan segelintir pengusaha. Jumlah mereka tak lebih dari 200 orang.
Sudah saatnya negeri ini mengabdi untuk seluruh anak bangsa, seperti digagas para pendiri negeri ini.
Sukarno adalah murid HOS Tjokroaminoto. Sebagaimana gurunya, Sukarno menerjemahkan dirinya sebagai kekuatan kelas menengah yang menyatukan dirinya dengan jiwa masyarakatnya. Hal ini berbeda dengan kebanyakan pemimpin kebangsaan saat itu yang elitis.
Dua Bapak Bangsa itu tampil dengan bahasa awam dan menyatu dengan denyut nadi rakyat. Mereka mengekstrak aspirasi yang bersemayam di dada rakyatnya. Sukarno memperbaiki kekuatan gurunya-dalam hal orasi maupun ideologi.
Dengan bersatunya pemimpin dengan rakyatnya maka gerakan kebangsaan memiliki nyawa raksasa yang meruntuhkan kolonialisme. Namun, kemerdekaan belum berhasil menjebol elitisme kekuasaan.
Kemerdekaan hanya berhasil melakukan revolusi politik tetapi gagal dalam revolusi sosial dan revolusi ekonomi. Hal ini berlanjut pada lanskap seusai gerakan 1966 maupun gerakan 1998. Kaum elite-oligarkis maupun plutokratis-selalu pandai memanipulasi narasi.
Contoh paling mudah bisa dilihat pada perang narasi saat ini. Mari kita lihat kontradiksinya.
Mulut bicara NKRI harga mati tetapi duit disimpan di luar negeri.
Teriak lantang tentang Merah Putih tapi tak ikut tax amnesty-atau hanya sebagian harta saja yang diikutkan dalam tax amnesty.
Bhinneka Tunggal Ika digelorakan tetapi sudah ngacir ke negeri tetangga ketika ada suara berbeda.
Pancasila didengungkan tetapi penyelundupan, transfer pricing, penyuapan, dan korupsi jalan terus. Semua berselimut dusta yang disangga harta dan kuasa.
Sedangkan, orang-orang yang dituduh anti-Indonesia itu justru di posisi sebaliknya:
hidup dan matinya tidak akan ke mana-mana. NKRI benar-benar harus dijaga karena itu kekayaan satu-satunya.
NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, Merah Putih, Garuda, dan Pancasila bukan slogan kosong yang hanya indah di pidato dan spanduk. Semuanya harus nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Orang-orang yang ikut aksi 411 atau 212 itu nyaris semuanya jauh dari urusan tax amnesty atau menyimpan duit di luar negeri. Apalagi melakukan penyelundupan, transfer pricing, dan penyuapan.
Jadi, siapa sesungguhnya yang anti-Indonesia? Umat Islam tak henti dituduh anti-Indonesia. Karena cuma itu satu-satunya senjata. Trauma kolonialisme-santri adalah salah satu yang paling menderita sehingga tertinggal secara ekonomi dan pendidikan-bukanlah sesuatu yang mudah dihapuskan.
Kini, sudah saatnya bergerak dalam barisan yang rapi dan terkonsolidasi, dalam bahasa yang universal, dan membesarkan kuda sendiri. Aksi 212 telah memberi pesan kepada dunia bahwa Islam itu damai dan indah.
Namun, kedamaian dan keindahan itu menjadi bermakna manakala bisa membawa Indonesia maju dan sejahtera. Dan itu tidak bisa dilakukan dari pinggiran.
Oleh : Nasihin Masha
Sumber Republika.co.id